Tak ada hujan yang begitu dirindukan, melainkan hujan yang dengannya bumi mati dapat menumbuhkan aneka ragam
Sesosok mayat yang terbujur kaku dipaksa menggelitik sebongkah batu, sementara milyaran yang hidup hanya memerjuangkan kehendaknya sendiri-sendiri
Jika siang telah beranjak
Dan suara guntur memekikkan air mata
Semua mata hanya bisa berdiam diri di bawah lubang bernama rasa nyaman
Melihatmu saat terang benderang, sama saja dengan berharap pada bidadari lamunan
Rayuan, pujian ...
Tidak bisa mengubah apa-apa
Bahkan hingga menyentuh hati pun tidak
Sebenarnya kau ini apa?
Aku melihat burung-burung dan bunga melati yang tak wangi
Kemudian ku paksa untuk mencium bau
Tapi sekali lagi rasamu berbaju-baju
Sehingga bagaimana ceritanya angin dapat dengan mudah menyentuh kulit kebalmu?
Aku menanam segenggam pasir di dalam tanah langkamu
Berharap dengan itu ladangmu bisa sedikit tersuburkan
Tapi ku tanam batu sendiri
Tanahmu menjadi gunung tegak berdiri
Menemuimu di waktu senja, sekilas bagai menemukan zamzam di tengah kerontangnya padang pasir
Pelangi melengkung berwarna-warni
Langit jingga dalam sekejap
Lalu hujan turun beribu-ribu
Sembilu menusuk tulang punggungku
Ada apa didingin malam sehingga pencuri setampan cahaya kunang-kunang
Ada apa ketika jemari tinggal setengah dan separuhnya tenggelam ke dasar samudera waktu
Palung cintaku buta di mariana
Sementara nafas tak bisa menolong
Keberdayaan dalam sesaat hanya bisa mengeong
Semburat cahya di tengah malam menjelang dini hari
Dikala kemarin aku timbul tenggelam menggapai tak sampai-sampai
Tiada matahari terbit lebih awal melainkan engkau menyusup dibalik buku-buku teori tentang hidup, cinta, asa hingga perjuangan palsu
Jasad-jasad tak bernyawa pun tenggelam dalam lautan segelas anggur.
Dangdeur : Sebelum satu dasawarsa
No comments:
Post a Comment