Saturday, September 15, 2018

BALADA TIGA BUTIR PASIR

         Tak terasa waktu begitu cepat mempengaruhi keadaan, dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan berganti bulan dan begitulah seterusnya seperti tengah mengalir menjalani siklusnya. Adapun Kita sebagai makhluk yang tak kebal oleh gilasan perputaran waktu, hanya bisa menghitung sudah berapa kali umur ini berkurang dari jatahnya yang telah Tuhan tentukan sejak dulu kala.
Apa kabar adik-adikku ?, semoga kalian sehat selalu, diberi kelapangan rezeki atas umur dan kesehatan, atas jiwa serta barokah senantiasa melumuri Kita semua. Amiin !

Tahun lalu, di akhir seribu Sembilan ratus Sembilan puluh lima. Engkau tak ubahnya seperti sebuah boneka agung yang diberi kesempatan luar biasa untuk hidup dan merasakan terpaan angin pagi di padang ilalang Pasir Incuing yang segar, aroma Namamu bagai kuncup bunga melati yang tercium harum oleh ribuan lebah madu yang memanjatkan do’a dari kejauhan seiring luluhnya sujud kening seorang Bapak di rantau kota kembang.
Matahari di dingin pagi kian dirindukan sejak bacaan “ Tarhim “ berkumandang dari kejauhan, menyusul setelah itu bunyi Adzan bersahutan pertanda subuh sudah datang dan lampu tempel minyak tanah di turunkan dari balik dinding bambu bercat kapur.
Ada ngeri yang berhamburan pergi manakala kokok ayam jantan berbunyi mendendang tentang masih adanya harapan di masa depan seiring waktu berjalan.
Tebing tanah masa itu menjadi tempat sepi yang begitu indah di tuangi curahan hati masa kecil, lugu, dekil dan bau keringat. Sayup-sayup suara kodok yang selalu mendiami lubang buatan terdengar seperti tengah menikmati kemenangan, dengan lagak penuh olokan dia merapatkan kulit kasarnya makin dalam ke pojokkan, aku pun harus mengalah dan kembali menggali lubang.
Matahari perlahan meninggi seiring tangismu yang kadang terdengar  memecah keheningan, lalu ibu memangkumu dengan penuh kasih sayang, memberikanmu separuh nyawanya yang tidak akan pernah terbilang di masa sekarang.
Hidup di masa itu hanya tentang segenggam roti beroles mentega dan bungkus kulit yang selalu beda di saat musim lebaran tiba, tidak ada yang megah kecuali kehangatan keluarga manakala berkumpul menikmati jamuan kasih sayang Tuhan yang luar biasa.

Jika sore telah datang dan cahaya matahari tak lagi mampu menembus melewati kaca hingga ke dalam, di sanalah sepasang mata iba mengintip di balik rimbunnya kebun dalam kejernihan kaca jendela.
Lembayung dan kekhawatiran pun mulai menyelinap lambat-lambat tentang gubug kecil dan hutan bayangan dalam belantara merakayangan. Tidak ada yang mampu menolong, melainkan hanya Tuhan saja berpusatnya segala keluh dan adu setelah air wudhu kering di atas hamparan sajadah.

*   *   *
Sekian musim telah berlalu, Pasir Incuing dan segala ceritanya tinggal menjadi kenangan pelipur lara di masa yang akan datang.
Apa kabar adik-adikku ? semoga seiring semakin tumbuhnya cita-cita dan semangat juang, Kita juga senantiasa untuk tidak pernah lupa nasehat ibu bapak Kita agar selalu bersyukur dan tidak pongah atas apa yang Tuhan titipkan.
Istana pohon sebentar lagi akan rampung, dan sementara waktu Kita hanya berdiam diantara tempelan anyaman bambu menitipkan pesan bagi malam bahwa kedinginan barangkali sebentar lagi akan segera pamitan serta mengucap salam kerinduan.
Merah putih seragamku, sepulang sekolah memeluk ibu. Ada apakah gerangan ? rupanya hadiah besar akan kembali datang sebagaimana dulu engkau terlahir.
Hari itu tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan, masa krisis moneter sedang menjadi-jadinya, Engkau si bungsu menyapa dunia menjelang pukul enam pagi. Segenap haru biru dan rasa terima kasih kepada sang maha kuasa pun meledak, lantaran Engkau terlahir dengan begitu mudah dan sempurna sebagaimana kakak keduamu.
Pasirlaja kini hangat bersama waktu yang tak membiarkan satu ayat pun terlewat dalam nyanyian tangismu di tiap senja hingga malam tiba,
Segenggam harap dan do’a, tercium di semerbak bunga mawar yang mengalun bersama do’a seorang bapak yang membuka telapak tangannya tengadah ke langit mengucap pinta seusai sembahyang Maghrib.
Alhamdulillah …
Kini dua puluh Sembilan tahun telah berlalu, kerinduan itu tak pernah sirna. Cukcrukan dengan tebing hijau dan hamparan sawah yang di sisinya mengalir parit-parit kecil tempat burayak, bogo dan ikan lele beranak pinak. Disana dalam lumpur yang padinya baru seminggu selesai tanam, belut-belut seakan telah menanti umpan cacing yang di balutkan ke kail ( urek ) yang dahulu pernah dan hampir tak terlewatkan.
Pasir incuing dan kidung misteri serta kengeriannya ba’da senja begitu mengurat di dada, dalam-dalam ku jumpai masa dimana sebutir padi pun menjadi sangat penting ketika ada satu biji saja yang meloncat dari tumbukkan alu lesung.
Pasirlaja dengan sejuta pesona, tumbuh hijau bersama daun-daun pisang yang tampak subur jika dipandang dari kejauhan. Waktu sore begitu di nikmati sambil menonton di atas bukit, bahkan ketika musim kemarau tiba, dulu disini sangatlah ramai dengan para penerbang layangan. Sorak sorai dari jagoan yang menang aduan melawan blok pasir kotok kian ramai, menjadi ciri khas yang sekarang nyaris punah.
Pasirlaja semakin pasir, bukan pasir pada umumnya. Akan tetapi sebuah bukit, yang kini orang tua Kita menikmati masa senjanya disana.
Apa yang telah Kita beri untuk Mereka ?
Apakah benar sebuah pemberian ?
Ataukah hanya sebuah lelucon tentang lautan kasih sayang yang tidakkan pernah terbalas biar telah menjadi bergudang-gudang ganduan garam di kota.
Bagaimana kabr Kita mala mini ?





No comments:

Post a Comment