Suatu pagi yang cerah di tanggal satu april tahun dua ribu delapan
belas, alhamdulillah Saya di beri kesempatan untuk melakukan sebuah perjalanan
sehari dari tempat tinggal Saya menuju Desa Sagara Kecamatan Cibalong Kabupaten
Garut. Dalam perjalanan tersebut Saya tidak sendiri, ada adik perempuan Saya
yang ikut satu sepeda motor dengan Saya. Perjalanan itu pun tidak semata hanya
jalan-jalan melepas penat atau sekedar nyari angin belaka, akan tetapi memang
hari itu Saya di beri tugas oleh ortu untuk mengantar adik Saya ke Desa Sagara.
O ya sebulan yang lalu tepatnya, Achie nama panggilan akrab adik
pertama Saya tengah melakukan kegiatan KKN di desa sagara - Garut beserta
teman-teman kampus IAIC ( Institu t Agama Islam Cipasung ) – Singaparna. Kebetulan
di penghujung ‘ bulan pertama ‘ Achie memutuskan untuk pulang terlebih dahulu ke
rumah sembari melengkapi perbekalan untuk bulan berikutnya.
Matahari pagi itu terasa hangat di badan seakan mendukung
perjalanan Kami yang sesaat lagi akan di
mulai, akhirnya setelah merapihkan barang bawaan dan pamitan ke ayah dan ibu,
Kami pun beranjak pergi meninggalkan lambaian tangan mereka yang kemudian makin
menjauh seiring putaran handle gas sepeda motor yang Saya putar.
Bismillah,
Semerbak angin sesekali menerpa badan manakala dari arah berlawanan
kendaraan yang lain berlalu lalang.
Laju putaran roda menapaki aspal jalan raya puspahiang mengarah ke
selatan. Kemudian jalan berkelok-kelok menjelang daerah batu karut, lalu tak
lama daerah deudeul pun tiba.
Belok ke kiri di pertigaan jalan taraju, sepeda motor Saya arahkan
memasuki jalan sodong.
Di kanan dan kiri jalan terlihat rumah-rumah warga berjajar rapih,
sesekali ada juga rumah warga yang letaknya berjauhan dan di selang dulu oleh
beberapa kebun dengan pepohonan dan ilalang yang hijau segar.
Sebelum turunan jalan giri pati, suasana terasa hening segar. Rumah-rumah
penduduk sudah tak ada lagi, yang kami lihat hanya berdirinya pepohonan mahoni
di pinggir jalan beraspal hitam seakan makin dalam membelah hutan.
Kadang untuk menghilangkan jenuh, Kami selingi dengan obrolan
ringan yang sebagian hanya terdengar samar-samar kemudian seiring raungan bunyi
knalpot skuter matic yang kami tunggangi.
Sebetulnya jalan di kecamatan Sodong hilir ini tak begitu asing
bagi Saya, karena jalan ini juga adalah jalan yang sama ketika Saya dan Bapak
saya pergi ziarah ke Makam Waliyulloh Syekh Abdul Muhyi di Daerah Pamijahan
tempo hari. Hanya memang perbedaannya lebih ke kontur jalan saja dimana sekitar
dua tahun atau tiga tahun kebelakang, masih rusak. Tapi untungnya makin kesini
jalan semakin bagus dan mulus, apalagi jika disertai dengan pemeliharaan yang bagus
pula seperti di peliharanya kebersihan parit-parit di kedua bahu jalan,
insyalloh tentu akan lebih maksimal kenyamanan yang di rasakan oleh para
pengguna jalan.
Sampailah kami di pertigaan jalan Pamijahan, kalau tidak salah
namanya Simpang urmi. Dari sini saya ambil belok kiri arah cipatujah, sebab
kalau ambil belok kanan akan kearah Pamijahan. Jalan kian mulus dan di tengah
punggung jalan tampak lajur putih yang lumrah di jalan raya terlihat seperti
sedang berlarian melawan arah, disini jalan didominasi kondisi lurus dan
lengang. Keadaan ini memicu keinginan Saya untuk sedikit menaikkan putaran
handle gas, menghalau angin dengan keras.
Sepeda motor melaju kencang, dapat Kami jumpai pula sesekali bus-bus
pariwisata mungkin hendak ke pamijahan membawa penumpang para peziarah, di
samping memang ada juga serombongan orang yang memilih menaiki mobil bak
terbuka dengan beratap terpal biru.
Matahari terasa makin meninggi, udara pun mulai terasa panas
selepas bundaran Karang habis di lalui melaju lurus hingga jembatan diatas
sebuah sungai yang menyerupai rawa.
Tiba-tiba semuanya jadi adem manakala jalan aspal berubah menjadi
jalan tembok rabat beton yang di kanan kirinya terdapat hijaunya daun-daun
pohon karet dan warung- warung kecil dengan pemandangan mantap seakan mengobati
peluh keringat kami yang mulai lelah.
Sampailah kami di persimpangan cipatujah, sudah terasa lelahnya
pinggang dan bokong yang menempel terus di atas jok sepeda motor. Akhirnya kami
memilih untuk rehat sejenak sambil membeli makanan kecil.
Mungkin perjalanan masih jauh, mungkin juga sudah dekat ya karna
pada dasarnya dari titik persimpangan ini Saya belum pernah melakukan
perjalanan sekalipun ke arah yang katanya jalur Pameungpeuk-Garut. Jadi ini
kali pertamanya dari arah jalur pantai cipatujah menuju ke jalur pameungpeuk
dan nantinya sampai di desa sagara.
Kurang lebih tiga setengah jam perjalanan waktu telah berlalu, nampak
debu-debu jalan raya beterbangan samar-samar. Sesekali deruman kendaraan yang
konvoi dari rombongan pemotor dengan mengendarai sepeda motor ukuran gede pun
lewat beruntun lari meninggalkan kami di belakang.
Adikku bercerita soal sebuah jalan aspal mulus yang membelah hutan
karet, nama jalannya mira-mare entahlah.
Tapi kemudian betapa takjubnya Saya ketika selesai melibas sebuah
tanjakan panjang yang sisi pada sisinya hutan dengan pepohonan sedikit ‘ horror
‘ terlihat seperti berjanggut oleh tumbuhan yang merambati dahan hingga seakan
menutupi semua daun.
Subhanalloh,
Bagi saya sendiri ini kali pertama yang sangat luar biasa, setelah
tadi saya sempat di hibur oleh deburan ombak laut cipatujah yang masih tampak
sambil memicu kendaraan bermotor kemudian pesona aliran sungai Alur nan jernih.
Tapi kini diluar dugaan sungguh luar biasa luar-luar biasa, kalau sekilas Saya
ingat pemandangan dalam sebuah iklan rokok ternama yang mengambil settingan
pemandangan di luar negri. Seperti itulah wujud dari rupa yang saya dapatkan dari
pancaran kesan pertama Saya di jalan Perkebunan Karet Mira-mare yang panjangnya
entah berapa kilometer, sungguh aduhai. Sebagian pemandangan itu saya abadikan
lewat lensa kamera hp saya dengan di bantu adik saya memotret, rasanya saya
betah sekali dan ingin berlama-lama jadinya, tak mau cepat-cepat memacu
kendaraan bermotor. Sayangnya hari sudah terik saat itu, jadi saya coba
mengambil foto pun agak buyar gitu terhempas panasnya sinar matahari jam
sebelas. Coba kalau tiba disana sekitar jam tujuh atau jam delapan pagi, saya
membayangkan pasti suasana masih basah berembun dan pas sekali untuk memotret,
eukkkkkhhh …..!😅
Tapi apa mau dikata, tujuan Kami bukan untuk main ke Mira-mare. Segala
ketakjuban Saya terpaksa harus Saya akhiri, karna desa sagara yang dituju
belumlah menampakkan diri.
Akhirnya, dari lajur kiri Saya belok memotong arah ke sisi kanan
menapaki sebuah belokan memasuki perkebunan karet dengan jalan setapak yang
berbatu bundar seperti batu-batu yang sengaja dirangkai dari batu-batu sungai. Saking
sering di tapaki, batu-batu itu terlihat seperti licin.
Di jalan ini hanya potongan kecil dari pemandangan Mira-mare tadi,
tapi Saya serasa gak mau membuang kesempatan pertama kalinya ini dari
mengabadikan beberapa foto. Sejenak Saya pinggirkan dulu sepeda motor ke dekat
pohon karet, sambil kami turun dan menghela nafas. Saya meminta adik Saya untuk
memotret, Alhamdulillah hasinya lumayan.
Dari sini perjalanan di lanjutkan, makin ke dalam kebun karet. Gak ada
rumah di sisi-sisi jalan, hanya terus saja satu demi satu pohon karet yang
berderetan, berbaris indah seperti barisan para prajurit kerajaan.
Makin ke dalam, jalan makin gak bersahabat. Terutama karna Saya
memakai sepeda motor skutik yang notabene memiliki dek rendah sehingga sesekali
terdengar “ jedughhhh “ mentok juga ke
batu jalan. Memang bukan untuk peruntukkannya juga, harusnya lebih tepat kalau
pake motor bersistem perpindahan gigi manual/kopling / adventure. Tapi sudahlah,
asoiii aja nikmati keadaan yang bikin berkeringat ngeri, terutama ketika mesti
menukik di turunan tajam “ beuuuuhhhhh …. Sport jantung, brosis “.
Ada yang unik saat itu, ketika di jalan yang gak ada batunya
melainkan hanya lumpur basah terkena air hujan semalam mungkin. Di sisi kanan
jurang yang di bawahnya mengalir aliran sungai, nah di jalan itu anehnya tiang
listrik di tempatkan di tengah jalan ya di tengah jalan, ini pemandangan tak
lazim memang yang hanya saat itu saya temui. Belum habis keanehan Saya,
ternyata usut punya usut menurut cerita Achie sebenarnya bukan tiang listrik
yang di tengah jalan. Cuma justru karna jalan rusak, jadi orang-orang yang bawa
sepeda motor membuat jalur sendiri menerobos bahu jalan, dan saking seringnya di
lalui jadi seolah itu jalan yang tengahnya di tancapkan tiang listrik, padahal
aslinya enggak sama sekali.
Kami pun kembali meneruskan perjalanan, hmmmphhh …. Semoga lekas
sampai. Menjelang sebuah tanjakan terjal, perjalanan Kami harus terhenti sesaat
karna ada dua mobil truk yang berhenti di kaki tanjakan. Saya lihat sopir dan
kernetnya ada di luar truk dan sedang menyusun sebagian batu di tanjakan, dan
ini pemandangan yang jarang juga Saya temui dimana sebelum jalan dapat di
lalui, terlebih dahulu mesti di perbaiki meski gak keseluruhan di perbaiki.
Alhamdulillah ternyata orang Sagara ramah-ramah, dengan tersenyum
mereka mempersilahkan Kami lewat.
Adzan dhuhur terdengar berkumandang di kejauhan, sembari memicu
pelan sepasang roda Saya mulai bertanya-tanya dalam hati “ ieu kumaha teu
nepi wae’ ? “. Pertanyaan itupun Saya lontarkan ke Achie, tapi Dia hanya
bilang “ sabar saja, sebentar lagi juga sampai “. Hmmmmmpppppphhh …..
Benar saja, alhamdulillah tak lama kemudian sampailah Kami di
tempat tujuan, tepatnya di rumah Kepala Desa Sagara tempat dimana Achie dan
teman-teman seperjuangannya berdiam selama kegiatan KKN berlangsung.
Seraya senderan di atas shofa merasakan sekujur tubuh rasanya beda
banget, peluh keringat mengucur pelan di sekujur badan.
Hari semakin siang, amanah dari ortu pun sudah selesai ditunaikan. Tapi
kemudian Saya jadi kepikiran soal jalan pulang, jika harus kembali melalui
jalan yang tadi rasanya Saya angkat tangan sambil melambai ke kamera “ gak kuat
… “. Alasannya pertama karena memang jarak tempuh yang setengah hari, kedua
jalan dari sagara sampai ke jalan mira-mare tuh tidak mudah.
Akhirnya dengan mendengar saran dari Achie dan seorang imam masjid
yang kebetulan Saya temui di masjid dekat rumah pak kades, katanya lebih dekat
jika melalui jalur Maroko-toblong-kemudian singajaya. Pikir Saya dalam hati oke
juga bisa Saya coba, tapi seketika “ jlebbbhhhh … “ Saya gak tahu jalannya,
arahnya pun sama sekali tidak tahu menahu toh ini kali pertama perjalanan ke
daerah yang baru saja Saya kenal. Disini dilema bener-bener, sementara jarum
jam telah menunjukkan pukul dua sore. Sempat terbersit di pikiran kalau akan
lebih baik jika kembali ke jalan yang tadi, tapi “ ahh sudahlah “. Akhirnya Saya
memutuskan untuk pulang lewat ke jalan Maroko saja sebagaimana saran dari
mereka, semoga memang beneran deket dan kalau memang melalui singajaya, Saya tahu
sedikit jalan Singajaya.
Dengan berbekal niat, setelah pamitan Saya pun pergi meninggalkan
Achie di desa Sagara. Sungguh ini pengalaman pertama yang bikin sesaat urat
syaraf tegang.
Satu demi satu jalan pun di tapaki, ternyata kalau secara kondisi
kontur jalan hampir gak ada bedanya dengan jalan menuju desa sagara tadi. Jalanan
terjal berbatu yang sebagian batu barangkalnya sudah tercabut dari tanah jalan,
hanya mungkin secara lebar lebih lebar jalan maroko.
Sepanjang jalan yang bisa di katakan menapaki lereng pegunungan,
Saya sering menjumpai pemandangan berupa sawah-sawah dan sungai-sungai besar
yang mengalir jernih air nya, juga anak-anak yang sedang bermain air di sungai
dangkal.
Jalan kian menanjak saja menaiki pucuk gunung, Saya berpikir luar
biasa sekali sopir-sopir angkutan disini, keberaniannya dalam mengemudi luar
biasa terutama ketika menapak di tanjakan yang sangat menanjak luar biasa.
Semilir angin menjelang sore terasa dingin menempeli kulit yang
berkeringat, sinar mentari sudah terasa gak lagi sekejam tadi saat di sagara. Sesekali
di jalan toblong terlihat pohon-pohon kelapa sawit yang mungkin di tanam oleh
warga setempat. Awalnya Saya berasa mimpi ko bisa disini ada pohon kelapa
sawit, mengingat kalau lihat berita di televisi kebanyakan kelapa sawit itu
terdapat di pulau luar jawa. Namun setelah melihat keberadaannya dengan mata
kepala sendiri barulah percaya, kalau ini nyata bukan mimpi.
Semua keluh kesah dan jenuh pun berakhir manakala Saya tiba di
pertigaan Singajaya.
Alhamdulillah …
Saya anggap kalau sudah di singajaya Saya sudah Sampai di daerah
sendiri, kenapa? Karna daerah ini sudah Saya kenal, tidak seperti halnya
sagara, maroko dan toblong.
Terima kasih Ya Alloh !
YAYAN INDERAGOENA
No comments:
Post a Comment