Tak terasa waktu begitu cepat mempengaruhi keadaan, dari hari ke
hari, minggu ke minggu, bulan berganti bulan dan begitulah seterusnya seperti
tengah mengalir menjalani siklusnya. Adapun Kita sebagai makhluk yang tak kebal
oleh gilasan perputaran waktu, hanya bisa menghitung sudah berapa kali umur ini
berkurang dari jatahnya yang telah Tuhan tentukan sejak dulu kala.
Apa kabar adik-adikku ?, semoga kalian sehat selalu, diberi
kelapangan rezeki atas umur dan kesehatan, atas jiwa serta barokah senantiasa melumuri
Kita semua. Amiin !
Tahun lalu, di akhir seribu Sembilan ratus Sembilan puluh lima. Engkau
tak ubahnya seperti sebuah boneka agung yang diberi kesempatan luar biasa untuk
hidup dan merasakan terpaan angin pagi di padang ilalang Pasir Incuing yang
segar, aroma Namamu bagai kuncup bunga melati yang tercium harum oleh ribuan
lebah madu yang memanjatkan do’a dari kejauhan seiring luluhnya sujud kening seorang
Bapak di rantau kota kembang.
Matahari di dingin pagi kian dirindukan sejak bacaan “ Tarhim “
berkumandang dari kejauhan, menyusul setelah itu bunyi Adzan bersahutan
pertanda subuh sudah datang dan lampu tempel minyak tanah di turunkan dari
balik dinding bambu bercat kapur.
Ada ngeri yang berhamburan pergi manakala kokok ayam jantan
berbunyi mendendang tentang masih adanya harapan di masa depan seiring waktu
berjalan.
Tebing tanah masa itu menjadi tempat sepi yang begitu indah di
tuangi curahan hati masa kecil, lugu, dekil dan bau keringat. Sayup-sayup suara
kodok yang selalu mendiami lubang buatan terdengar seperti tengah menikmati
kemenangan, dengan lagak penuh olokan dia merapatkan kulit kasarnya makin dalam
ke pojokkan, aku pun harus mengalah dan kembali menggali lubang.
Matahari perlahan meninggi seiring tangismu yang kadang
terdengar memecah keheningan, lalu ibu
memangkumu dengan penuh kasih sayang, memberikanmu separuh nyawanya yang tidak
akan pernah terbilang di masa sekarang.
Hidup di masa itu hanya tentang segenggam roti beroles mentega dan
bungkus kulit yang selalu beda di saat musim lebaran tiba, tidak ada yang megah
kecuali kehangatan keluarga manakala berkumpul menikmati jamuan kasih sayang Tuhan
yang luar biasa.
Jika sore telah datang dan cahaya matahari tak lagi mampu menembus melewati kaca hingga ke dalam, di sanalah sepasang mata iba mengintip di balik rimbunnya kebun dalam kejernihan kaca jendela.
Lembayung dan kekhawatiran pun mulai menyelinap lambat-lambat
tentang gubug kecil dan hutan bayangan dalam belantara merakayangan. Tidak ada
yang mampu menolong, melainkan hanya Tuhan saja berpusatnya segala keluh dan
adu setelah air wudhu kering di atas hamparan sajadah.
*
* *
Sekian musim telah berlalu, Pasir Incuing dan segala ceritanya
tinggal menjadi kenangan pelipur lara di masa yang akan datang.
Apa kabar adik-adikku ? semoga seiring semakin tumbuhnya cita-cita
dan semangat juang, Kita juga senantiasa untuk tidak pernah lupa nasehat ibu
bapak Kita agar selalu bersyukur dan tidak pongah atas apa yang Tuhan titipkan.
Istana pohon sebentar lagi akan rampung, dan sementara waktu Kita
hanya berdiam diantara tempelan anyaman bambu menitipkan pesan bagi malam bahwa
kedinginan barangkali sebentar lagi akan segera pamitan serta mengucap salam
kerinduan.
Merah putih seragamku, sepulang sekolah memeluk ibu. Ada apakah
gerangan ? rupanya hadiah besar akan kembali datang sebagaimana dulu engkau
terlahir.
Hari itu tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan, masa
krisis moneter sedang menjadi-jadinya, Engkau si bungsu menyapa dunia menjelang
pukul enam pagi. Segenap haru biru dan rasa terima kasih kepada sang maha kuasa
pun meledak, lantaran Engkau terlahir dengan begitu mudah dan sempurna
sebagaimana kakak keduamu.
Pasirlaja kini hangat bersama waktu yang tak membiarkan satu ayat pun
terlewat dalam nyanyian tangismu di tiap senja hingga malam tiba,
Segenggam harap dan do’a, tercium di semerbak bunga mawar yang
mengalun bersama do’a seorang bapak yang membuka telapak tangannya tengadah ke
langit mengucap pinta seusai sembahyang Maghrib.
Alhamdulillah …
Kini dua puluh Sembilan tahun telah berlalu, kerinduan itu tak
pernah sirna. Cukcrukan dengan tebing hijau dan hamparan sawah yang di sisinya
mengalir parit-parit kecil tempat burayak, bogo dan ikan lele beranak pinak. Disana
dalam lumpur yang padinya baru seminggu selesai tanam, belut-belut seakan telah
menanti umpan cacing yang di balutkan ke kail ( urek ) yang dahulu pernah dan
hampir tak terlewatkan.
Pasir incuing dan kidung misteri serta kengeriannya ba’da senja
begitu mengurat di dada, dalam-dalam ku jumpai masa dimana sebutir padi pun
menjadi sangat penting ketika ada satu biji saja yang meloncat dari tumbukkan
alu lesung.
Pasirlaja dengan sejuta pesona, tumbuh hijau bersama daun-daun
pisang yang tampak subur jika dipandang dari kejauhan. Waktu sore begitu di
nikmati sambil menonton di atas bukit, bahkan ketika musim kemarau tiba, dulu
disini sangatlah ramai dengan para penerbang layangan. Sorak sorai dari jagoan
yang menang aduan melawan blok pasir kotok kian ramai, menjadi ciri khas yang
sekarang nyaris punah.
Pasirlaja semakin pasir, bukan pasir pada umumnya. Akan tetapi
sebuah bukit, yang kini orang tua Kita menikmati masa senjanya disana.
Apa yang telah Kita beri untuk Mereka ?
Apakah benar sebuah pemberian ?
Ataukah hanya sebuah lelucon tentang lautan kasih sayang yang
tidakkan pernah terbalas biar telah menjadi bergudang-gudang ganduan garam di
kota.
No comments:
Post a Comment