Wednesday, September 12, 2018

PELANGI DI LANGIT SAGARA


           Suatu pagi yang cerah di tanggal satu april tahun dua ribu delapan belas, alhamdulillah Saya di beri kesempatan untuk melakukan sebuah perjalanan sehari dari tempat tinggal Saya menuju Desa Sagara Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut. Dalam perjalanan tersebut Saya tidak sendiri, ada adik perempuan Saya yang ikut satu sepeda motor dengan Saya. Perjalanan itu pun tidak semata hanya jalan-jalan melepas penat atau sekedar nyari angin belaka, akan tetapi memang hari itu Saya di beri tugas oleh ortu untuk mengantar adik Saya ke Desa Sagara.

     O ya sebulan yang lalu tepatnya, Achie nama panggilan akrab adik pertama Saya tengah melakukan kegiatan KKN di desa sagara - Garut beserta teman-teman kampus IAIC ( Institu t Agama Islam Cipasung ) – Singaparna. Kebetulan di penghujung ‘ bulan pertama ‘ Achie memutuskan untuk pulang terlebih dahulu ke rumah sembari melengkapi perbekalan untuk bulan berikutnya.


Matahari pagi itu terasa hangat di badan seakan mendukung perjalanan Kami  yang sesaat lagi akan di mulai, akhirnya setelah merapihkan barang bawaan dan pamitan ke ayah dan ibu, Kami pun beranjak pergi meninggalkan lambaian tangan mereka yang kemudian makin menjauh seiring putaran handle gas sepeda motor yang Saya putar.

Bismillah,

             Semerbak angin sesekali menerpa badan manakala dari arah berlawanan kendaraan yang lain berlalu lalang.
Laju putaran roda menapaki aspal jalan raya puspahiang mengarah ke selatan. Kemudian jalan berkelok-kelok menjelang daerah batu karut, lalu tak lama daerah deudeul pun tiba.
Belok ke kiri di pertigaan jalan taraju, sepeda motor Saya arahkan memasuki jalan sodong.
Di kanan dan kiri jalan terlihat rumah-rumah warga berjajar rapih, sesekali ada juga rumah warga yang letaknya berjauhan dan di selang dulu oleh beberapa kebun dengan pepohonan dan ilalang yang hijau segar.
        Sebelum turunan jalan giri pati, suasana terasa hening segar. Rumah-rumah penduduk sudah tak ada lagi, yang kami lihat hanya berdirinya pepohonan mahoni di pinggir jalan beraspal hitam seakan makin dalam membelah hutan.
Kadang untuk menghilangkan jenuh, Kami selingi dengan obrolan ringan yang sebagian hanya terdengar samar-samar kemudian seiring raungan bunyi knalpot skuter matic yang kami tunggangi.
Sebetulnya jalan di kecamatan Sodong hilir ini tak begitu asing bagi Saya, karena jalan ini juga adalah jalan yang sama ketika Saya dan Bapak saya pergi ziarah ke Makam Waliyulloh Syekh Abdul Muhyi di Daerah Pamijahan tempo hari. Hanya memang perbedaannya lebih ke kontur jalan saja dimana sekitar dua tahun atau tiga tahun kebelakang, masih rusak. Tapi untungnya makin kesini jalan semakin bagus dan mulus, apalagi jika disertai dengan pemeliharaan yang bagus pula seperti di peliharanya kebersihan parit-parit di kedua bahu jalan, insyalloh tentu akan lebih maksimal kenyamanan yang di rasakan oleh para pengguna jalan.
                Sampailah kami di pertigaan jalan Pamijahan, kalau tidak salah namanya Simpang urmi. Dari sini saya ambil belok kiri arah cipatujah, sebab kalau ambil belok kanan akan kearah Pamijahan. Jalan kian mulus dan di tengah punggung jalan tampak lajur putih yang lumrah di jalan raya terlihat seperti sedang berlarian melawan arah, disini jalan didominasi kondisi lurus dan lengang. Keadaan ini memicu keinginan Saya untuk sedikit menaikkan putaran handle gas, menghalau angin dengan keras.
Sepeda motor melaju kencang, dapat Kami jumpai pula sesekali bus-bus pariwisata mungkin hendak ke pamijahan membawa penumpang para peziarah, di samping memang ada juga serombongan orang yang memilih menaiki mobil bak terbuka dengan beratap terpal biru.
         Matahari terasa makin meninggi, udara pun mulai terasa panas selepas bundaran Karang habis di lalui melaju lurus hingga jembatan diatas sebuah sungai yang menyerupai rawa.
Tiba-tiba semuanya jadi adem manakala jalan aspal berubah menjadi jalan tembok rabat beton yang di kanan kirinya terdapat hijaunya daun-daun pohon karet dan warung- warung kecil dengan pemandangan mantap seakan mengobati peluh keringat kami yang mulai lelah.


Sampailah kami di persimpangan cipatujah, sudah terasa lelahnya pinggang dan bokong yang menempel terus di atas jok sepeda motor. Akhirnya kami memilih untuk rehat sejenak sambil membeli makanan kecil.
Mungkin perjalanan masih jauh, mungkin juga sudah dekat ya karna pada dasarnya dari titik persimpangan ini Saya belum pernah melakukan perjalanan sekalipun ke arah yang katanya jalur Pameungpeuk-Garut. Jadi ini kali pertamanya dari arah jalur pantai cipatujah menuju ke jalur pameungpeuk dan nantinya sampai di desa sagara.
Kurang lebih tiga setengah jam perjalanan waktu telah berlalu, nampak debu-debu jalan raya beterbangan samar-samar. Sesekali deruman kendaraan yang konvoi dari rombongan pemotor dengan mengendarai sepeda motor ukuran gede pun lewat beruntun lari meninggalkan kami di belakang.


Adikku bercerita soal sebuah jalan aspal mulus yang membelah hutan karet, nama jalannya mira-mare entahlah.
Tapi kemudian betapa takjubnya Saya ketika selesai melibas sebuah tanjakan panjang yang sisi pada sisinya hutan dengan pepohonan sedikit ‘ horror ‘ terlihat seperti berjanggut oleh tumbuhan yang merambati dahan hingga seakan menutupi semua daun.

Subhanalloh,




             Bagi saya sendiri ini kali pertama yang sangat luar biasa, setelah tadi saya sempat di hibur oleh deburan ombak laut cipatujah yang masih tampak sambil memicu kendaraan bermotor kemudian pesona aliran sungai Alur nan jernih. Tapi kini diluar dugaan sungguh luar biasa luar-luar biasa, kalau sekilas Saya ingat pemandangan dalam sebuah iklan rokok ternama yang mengambil settingan pemandangan di luar negri. Seperti itulah wujud dari rupa yang saya dapatkan dari pancaran kesan pertama Saya di jalan Perkebunan Karet Mira-mare yang panjangnya entah berapa kilometer, sungguh aduhai. Sebagian pemandangan itu saya abadikan lewat lensa kamera hp saya dengan di bantu adik saya memotret, rasanya saya betah sekali dan ingin berlama-lama jadinya, tak mau cepat-cepat memacu kendaraan bermotor. Sayangnya hari sudah terik saat itu, jadi saya coba mengambil foto pun agak buyar gitu terhempas panasnya sinar matahari jam sebelas. Coba kalau tiba disana sekitar jam tujuh atau jam delapan pagi, saya membayangkan pasti suasana masih basah berembun dan pas sekali untuk memotret, eukkkkkhhh …..!😅



Tapi apa mau dikata, tujuan Kami bukan untuk main ke Mira-mare. Segala ketakjuban Saya terpaksa harus Saya akhiri, karna desa sagara yang dituju belumlah menampakkan diri.
Akhirnya, dari lajur kiri Saya belok memotong arah ke sisi kanan menapaki sebuah belokan memasuki perkebunan karet dengan jalan setapak yang berbatu bundar seperti batu-batu yang sengaja dirangkai dari batu-batu sungai. Saking sering di tapaki, batu-batu itu terlihat seperti licin.



Di jalan ini hanya potongan kecil dari pemandangan Mira-mare tadi, tapi Saya serasa gak mau membuang kesempatan pertama kalinya ini dari mengabadikan beberapa foto. Sejenak Saya pinggirkan dulu sepeda motor ke dekat pohon karet, sambil kami turun dan menghela nafas. Saya meminta adik Saya untuk memotret, Alhamdulillah hasinya lumayan.
Dari sini perjalanan di lanjutkan, makin ke dalam kebun karet. Gak ada rumah di sisi-sisi jalan, hanya terus saja satu demi satu pohon karet yang berderetan, berbaris indah seperti barisan para prajurit kerajaan.



Makin ke dalam, jalan makin gak bersahabat. Terutama karna Saya memakai sepeda motor skutik yang notabene memiliki dek rendah sehingga sesekali terdengar “  jedughhhh “ mentok juga ke batu jalan. Memang bukan untuk peruntukkannya juga, harusnya lebih tepat kalau pake motor bersistem perpindahan gigi manual/kopling / adventure. Tapi sudahlah, asoiii aja nikmati keadaan yang bikin berkeringat ngeri, terutama ketika mesti menukik di turunan tajam “ beuuuuhhhhh …. Sport jantung, brosis “.


Ada yang unik saat itu, ketika di jalan yang gak ada batunya melainkan hanya lumpur basah terkena air hujan semalam mungkin. Di sisi kanan jurang yang di bawahnya mengalir aliran sungai, nah di jalan itu anehnya tiang listrik di tempatkan di tengah jalan ya di tengah jalan, ini pemandangan tak lazim memang yang hanya saat itu saya temui. Belum habis keanehan Saya, ternyata usut punya usut menurut cerita Achie sebenarnya bukan tiang listrik yang di tengah jalan. Cuma justru karna jalan rusak, jadi orang-orang yang bawa sepeda motor membuat jalur sendiri menerobos bahu jalan, dan saking seringnya di lalui jadi seolah itu jalan yang tengahnya di tancapkan tiang listrik, padahal aslinya enggak sama sekali.


                 Kami pun kembali meneruskan perjalanan, hmmmphhh …. Semoga lekas sampai. Menjelang sebuah tanjakan terjal, perjalanan Kami harus terhenti sesaat karna ada dua mobil truk yang berhenti di kaki tanjakan. Saya lihat sopir dan kernetnya ada di luar truk dan sedang menyusun sebagian batu di tanjakan, dan ini pemandangan yang jarang juga Saya temui dimana sebelum jalan dapat di lalui, terlebih dahulu mesti di perbaiki meski gak keseluruhan di perbaiki.
Alhamdulillah ternyata orang Sagara ramah-ramah, dengan tersenyum mereka mempersilahkan Kami lewat.
Adzan dhuhur terdengar berkumandang di kejauhan, sembari memicu pelan sepasang roda Saya mulai bertanya-tanya dalam hati “ ieu kumaha teu nepi wae’ ? “. Pertanyaan itupun Saya lontarkan ke Achie, tapi Dia hanya bilang “ sabar saja, sebentar lagi juga sampai “. Hmmmmmpppppphhh …..
Benar saja, alhamdulillah tak lama kemudian sampailah Kami di tempat tujuan, tepatnya di rumah Kepala Desa Sagara tempat dimana Achie dan teman-teman seperjuangannya berdiam selama kegiatan KKN berlangsung.
Seraya senderan di atas shofa merasakan sekujur tubuh rasanya beda banget, peluh keringat mengucur pelan di sekujur badan.
Hari semakin siang, amanah dari ortu pun sudah selesai ditunaikan. Tapi kemudian Saya jadi kepikiran soal jalan pulang, jika harus kembali melalui jalan yang tadi rasanya Saya angkat tangan sambil melambai ke kamera “ gak kuat … “. Alasannya pertama karena memang jarak tempuh yang setengah hari, kedua jalan dari sagara sampai ke jalan mira-mare tuh tidak mudah.


Akhirnya dengan mendengar saran dari Achie dan seorang imam masjid yang kebetulan Saya temui di masjid dekat rumah pak kades, katanya lebih dekat jika melalui jalur Maroko-toblong-kemudian singajaya. Pikir Saya dalam hati oke juga bisa Saya coba, tapi seketika “ jlebbbhhhh … “ Saya gak tahu jalannya, arahnya pun sama sekali tidak tahu menahu toh ini kali pertama perjalanan ke daerah yang baru saja Saya kenal. Disini dilema bener-bener, sementara jarum jam telah menunjukkan pukul dua sore. Sempat terbersit di pikiran kalau akan lebih baik jika kembali ke jalan yang tadi, tapi “ ahh sudahlah “. Akhirnya Saya memutuskan untuk pulang lewat ke jalan Maroko saja sebagaimana saran dari mereka, semoga memang beneran deket dan kalau memang melalui singajaya, Saya tahu sedikit jalan Singajaya.


                 Dengan berbekal niat, setelah pamitan Saya pun pergi meninggalkan Achie di desa Sagara. Sungguh ini pengalaman pertama yang bikin sesaat urat syaraf tegang.
Satu demi satu jalan pun di tapaki, ternyata kalau secara kondisi kontur jalan hampir gak ada bedanya dengan jalan menuju desa sagara tadi. Jalanan terjal berbatu yang sebagian batu barangkalnya sudah tercabut dari tanah jalan, hanya mungkin secara lebar lebih lebar jalan maroko.
           Sepanjang jalan yang bisa di katakan menapaki lereng pegunungan, Saya sering menjumpai pemandangan berupa sawah-sawah dan sungai-sungai besar yang mengalir jernih air nya, juga anak-anak yang sedang bermain air di sungai dangkal.
Jalan kian menanjak saja menaiki pucuk gunung, Saya berpikir luar biasa sekali sopir-sopir angkutan disini, keberaniannya dalam mengemudi luar biasa terutama ketika menapak di tanjakan yang sangat menanjak luar biasa.
Semilir angin menjelang sore terasa dingin menempeli kulit yang berkeringat, sinar mentari sudah terasa gak lagi sekejam tadi saat di sagara. Sesekali di jalan toblong terlihat pohon-pohon kelapa sawit yang mungkin di tanam oleh warga setempat. Awalnya Saya berasa mimpi ko bisa disini ada pohon kelapa sawit, mengingat kalau lihat berita di televisi kebanyakan kelapa sawit itu terdapat di pulau luar jawa. Namun setelah melihat keberadaannya dengan mata kepala sendiri barulah percaya, kalau ini nyata bukan mimpi.
Semua keluh kesah dan jenuh pun berakhir manakala Saya tiba di pertigaan Singajaya.
Alhamdulillah …
Saya anggap kalau sudah di singajaya Saya sudah Sampai di daerah sendiri, kenapa? Karna daerah ini sudah Saya kenal, tidak seperti halnya sagara, maroko dan toblong.



Terima kasih Ya Alloh !



YAYAN INDERAGOENA





No comments:

Post a Comment