Tuesday, September 3, 2019

SAJAK BURUNG GAGAK


Sepercik api membakar nyala,
Mengundang puluhan gagak datang kesana,
Mengepul asap mengangkasa raya,
Mengembun jatuh di selokan kota,
Ada yang terpanggil, tertarik hatinya
Berniat mendapatkan emas walau hanya sebongkah cadas

Mulanya sama, sama-sama tak berdaya
Hanya karena cipta menasbihkan khayal dari masa ke masa
Hingga tersebutlah ...
Lalu Elang dan ayam datang bergantian meminta tamba seraya menambatkan bala

Ada yang tengah berupaya untuk mengibarkan panjinya,
Namun angin bukit terlalu tajam untuk ukuran kain biasa
Kemungkinan sobèk dan tercabik sangatlah besar

Seiring waktu berlalu, sekawanan gagak berhasil menggiring kumpulan burung pipit.
Merasuki jasadnya seperti dedemit sampai menjadi zombie yang berjalan dan berlaku seakan hilang kendali.
Tinta pun telah dicoretkan hingga bertumpuk-tumpuk
Kemudian sang gagak mendekati kandang domba disaat malam tiba,
Sesuai dugaan, api secepat kilat menyambar
Perangkap berhasil mendapatkan mangsanya.

Awan hitam bergumul seperti sepasang kekasih yang baru dikawinkan, pekat berbaju gelap menutupi tiap penjuru langit
Hujan yang keluar antara langit dan bumi pun tak terbendung membasahi sebagian kulit
Dari balik bukit terdengar suara akar-akar meremukkan tulang belulangnya sendiri
Sementara sang gagak berkicau dengan merdunya memecah kegetiran

Setiap sudut terasa mulai menyempit bak semesta hanya seukuran baju di badan,
Ketika segenggam pasir dipertaruhkan dibalik jeruji
Dan isak tangis menjadi bumbu di tiap hidangan
Hanya deretan do'a-do'a menerobos ke langit merdeka
Berharap matahari segera terbit membawakan rembulan sebagai dewi

Biru di badan nasib sebuah coretan
Perjalanan menanjak terjal berbatu
Kering, tandus tak berpenghuni
Di balik pikiran semoga tiba hujan harapan

Air selokan kota mengalir hingga ke parit sawah
Sementara airnya dibawa naik sampai ke bukit
Satu per satu upaya menjemput matahari terbit mulai menampakkan secercah sinar
Dan burung-burung gagak mulai kelimpungan
Hingga akhirnya jatuh tersungkur membungkam paruh, lalu berjalan dengan terpincang-pincang

Di satu sudut terbuka, gundukan pekat nampak terbuka
Terlihat begitu jelas di cermin tentang siapa yang berdiri tepat di belakang meja,
Bukan dedemit, bukan burung gagak bukan pula zombie

Saat matahari telah bersinar seperti biasa dan malamnya rembulan bercahaya bagaikan dewi
Perapian mulai dinyalakan sebagai penghangat tubuh yang telah lama di tikam kedinginan

Telah sirna segala kegetiran
Kini yang terdapat di kayu bakar hanya bara api yang menyala merah
Tak kan menghanguskan jika tak di sentuh dengan gegabah
Selanjutnya bara itulah yang kelak akan terus menyaksikan bagaimana akhir dari kehidupan sekumpulan burung gagak ...

No comments:

Post a Comment